English French Spain Russian Portuguese Japanese Korean Chinese Simplified

NINGSIH NAMANYA




Cerita ini adalah dramatisasi dari kisah nyata, dan merupakan satu
dari beberapa cerita lepas dengan tokoh utama yang sama. Antara satu
dan lainnya tidak harus dibaca berurutan. Ini cerita yang pertama.

Sebut saja namaku Paul. Aku bekerja di sebuah instansi pemerintahan
di kota S, selain juga memiliki sebuah usaha wiraswasta. Sebetulnya
aku sudah menikah, bahkan rasanya istriku tahu akan hobiku mencari
daun-daun muda untuk "obat awet muda". Dan memang pekerjaanku
menunjang untuk itu, baik dari segi koneksi maupun dari segi
finansial. Namun semenjak istriku tahu aku memiliki banyak sekali
simpanan, suatu hari ia meninggalkanku tanpa pamit. Biarlah, malah
aku bisa lebih bebas menyalurkan hasrat.

Karena pembantu yang lama keluar untuk kawin di desanya, aku terpaksa
mencari penggantinya di agen. Bukan saja karena berbagai pekerjaan
rumah terbengkalai, juga rasanya kehilangan "obat stress". Salah
seorang calon yang menarik perhatianku bernama Ningsih, baru berusia
(hampir) 16 tahun, berwajah cukup manis, dengan lesung pipit. Matanya
sedikit sayu dan bibirnya kecil seksi. Seandainya kulitnya tidak sawo
matang (meskipun bersih dan mulus juga), dia sudah mirip-mirip artis
sinetron. Meskipun mungil, bodinya padat, dan yang terpenting, dari
sikapnya aku yakin pengalaman gadis itu tidak sepolos wajahnya. Tanpa
banyak tanya, langsung dia kuterima.

Dan setelah beberapa hari, terbukti Ningsih memang cukup cekatan
mengurus rumah. Namun beberapa kali pula aku memergokinya sedang
sibuk di dapur dengan mengenakan kaos ketat dan rok yang sangat mini.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku mendekat dari belakang dan
kucubit paha gadis itu. Ningsih terpekik kaget, namun setelah sadar
majikannya yang berdiri di belakangnya, ia hanya merengut manja.

Sore ini sepulang kerja aku kembali dibuat melotot disuguhi
pemandangan yang 'menegangkan' saat Ningsih yang hanya berdaster
tipis menungging sedang mengepel lantai, pantatnya yang montok
bergoyang kiri-kanan. Tampak garis celana dalamnya membayang di balik
dasternya. Tidak tahan membiarkan pantat seseksi itu, kutepuk pantat
Ningsih keras-keras.

"Ngepel atau nyanyi dangdut sih? Goyangnya kok merangsang sekali!"
Ningsih terkikik geli mendengar komentarku, dan kembali meneruskan
pekerjaannya. Dengan sengaja pantatnya malah digoyang semakin keras.

Geli melihat tingkah Ningsih, kupegang pantat gadis itu kuat-kuat
untuk menahan goyangannya. Saat Ningsih tertawa cekikikan, jempolku
sengaja mengelus selangkangan gadis itu, menghentikan tawanya. Karena
diam saja, perlahan kuelus paha Ningsih ke atas, menyingkapkan ujung
dasternya."Eh... Ndoro... jangan..!" cegah Ningsih lirih.
"Nggak pa-pa, nggak usah takut, Nduk..!"
"Jangan, Ndoro... malu... jangan sekarang..!"
Dengan tergesa Ningsih bangkit membereskan ember dan kain pel, lalu
bergegas menuju ke dapur.

Malam harinya lewat intercom aku memanggil Ningsih untuk memijat
punggungku yang pegal. Seharian penuh bersidang memang membutuhkan
stamina yang prima. Agar tenagaku pulih untuk keperluan besok, tidak
ada salahnya memberi pengalaman pada orang baru.
Gadis itu muncul masih dengan daster merah tipisnya sambil membawa
minyak gosok. Ningsih duduk di atas ranjang di sebelah tubuhku.
Sementara jemari lentik Ningsih memijati punggung, kutanya, "Nduk,
kamu sudah punya pacar belum..?"
"Disini belum Ndoro..." jawab gadis itu.
"Disini belum..? Berarti di luar sini sudah..?"
Sambil tertawa malu-malu gadis itu menjawab lagi, "Dulu di desa saya
pernah, tapi sudah saya putus."
"Lho, kenapa..?"
"Habis mau enaknya saja dia."
"Mau enaknya saja gimana..?" kejarku.
"Eh... itu, ya... maunya ngajak gituan terus, tapi kalau diajak kawin
nggak mau."

Aku membalikkan badan agar dadaku juga turut dipijat.
"Gituan gimana? Memangnya kamu nggak suka..?"
Wajah Ningsih memerah, "Ya... itu... ngajak kelonan... tidur
telanjang bareng..."
"Kamu mau aja..?"
"Ih, enggak! Kalau cuma disuruh ngemut burungnya saja sih nggak pa-
pa. Mau sampai selesai juga boleh. Tapi yang lain Ningsih nggak
mau..!"
Aku tertawa, "Lha apa nggak belepotan..?"
"Ah, enggak. Yang penting Ningsih juga puas tapi tetep perawan."

Aku semakin terbahak, "Kalau kamu juga puas, terus kenapa diputus..?"
"Abis lama-lama Ningsih kesel! Ningsih kalau diajak macem-macem mau,
tapi dia diajak kawin malah main mata sama cewek lain! Untung Ningsih
cuma kasih emut aja, jadi sampai sekarang Ningsih masih perawan."
"Main emut terus gitu apa kamu nggak pengin nyoba yang beneran..?"
godaku.
Wajah Ningsih kembali memerah, "Eh... katanya sakit ya Ndoro..? Terus
bisa hamil..?"

Kini Ningsih berlutut mengangkangi tubuhku sambil menggosokkan minyak
ke perutku. Saat gadis itu sedikit membungkuk, dari balik dasternya
yang longgar tampak belahan buah dadanya yang montok alami tanpa
penopang apapun.
Sambil tanganku mengelus-elus kedua paha Ningsih yang terkangkang,
aku menggoda, "Kalau sama Ndoro, Ningsih ngasih yang beneran atau
cuma diemut..?"
Pipi Ningsih kini merah padam, "Mmm... memangnya Ndoro mau sama
Ningsih? Ningsih kan cuma pembantu? Cuma pelayan?"
"Nah ini namanya juga melayani. Iya nggak?"
Ningsih hanya tersenyum malu.

"Aaah! Itu kan cuma jabatan. Yang penting kan orangnya..!"
"Ehm.., kalau hamil gimana..?"
"Jangan takut Nduk, kalau cuma sekali nggak bakalan hamil. Nanti
Ndoro yang tanggung jawab.."
Meskipun sedikit ragu dan malu, Ningsih menuruti dan menanggalkan
dasternya.

Sambil meletakkan pantatnya di atas pahaku, gadis itu dengan tersipu
menyilangkan tangannya untuk menutupi kemontokan kedua payudaranya.
Untuk beberapa saat aku memuaskan mata memandangi tubuh montok yang
nyaris telanjang, sementara Ningsih dengan jengah membuang wajah.
Dengan tidak sabaran kutarik pinggang Ningsih yang meliuk mulus agar
ia berbaring di sisiku.

Seumur hidup mungkin baru sekali ini Ningsih merasakan berbaring di
atas kasur seempuk ini. Langsung saja kusergap gadis itu, kuciumi
bibirnya yang tersenyum malu, pipinya yang lesung pipit,
menggerayangi sekujur tubuhnya dan meremas-remas kedua payudaranya
yang kenyal menggiurkan. Puting susunya yang kemerahan terasa keras
mengacung. Kedua payudara gadis itu tidak terlalu besar, namun montok
pas segenggaman tangan. Dan kedua bukit itu berdiri tegak menantang,
tidak menggantung. Gadis desa ini memang sedang ranum-ranumnya, siap
untuk dipetik dan dinikmati.

"Mmmhh... Oh! Ahhh! Oh... Ndorooo... eh.. mmm... burungnya... mau
Ningsih emut dulu nggak..?" tanya gadis itu diantara nafasnya yang
terengah-engah.
"Lepas dulu celana dalam kamu Nduk, baru kamu boleh emut."
Tersipu Ningsih bangkit, lalu memelorotkan celana dalamnya hingga
kini gadis itu telanjang bulat. Perlahan Ningsih berlutut di sisiku,
meraih kejantananku dan mendekatkan wajahnya ke selangkanganku.
Sambil menyibakkan rambutnya, gadis itu sedikit terbelalak melihat
besarnya kejantananku. Mungkin ia membayangkan bagaimana benda
berotot sebesar itu dapat masuk di tubuhnya.

Aku segera merasakan sensasi yang luar biasa ketika Ningsih mulai
mengulum kejantananku, memainkan lidahnya dan menghisap dengan mulut
mungilnya sampai pipinya 'kempot'. Gadis ini ternyata pintar membuat
kejantananku cepat gagah.
"Ehm... srrrp... mmm... crup! Ahmm... mmm... mmmh..! Nggolo
(ndoro)..! Hangang keyas-keyas(jangan keras-keras)..! Srrrp..!"
Gadis itu tergeliat dan memprotes ketika aku meraih payudaranya yang
montok dan meremasinya. Namun aku tak perduli, bahkan tangan kananku
kini mengelus belahan pantat Ningsih yang bulat penuh, terus turun
sampai ke bibir kemaluannya yang masih jarang-jarang rambutnya.
Maklum, masih perawan.

Gadis itu tergelinjang tanpa berani bersuara ketika jemariku
menyibakkan bibir kemaluannya dan menelusup dalam kemaluannya yang
masih perawan. Merasa kejantananku sudah cukup gagah, kusuruh Ningsih
mengambil pisau cukur di atas meja, lalu kembali ke atas ranjang.
Tersipu-sipu gadis perawan itu mengambil bantal berusaha untuk
menutupi ketelanjangannya.

Malu-malu gadis itu menuruti perintah majikannya berbaring telentang
menekuk lutut dan merenggangkan pahanya, mempertontonkan rambut
kemaluannya yang hanya sedikit. Tanpa menggunakan foam, langsung
kucukur habis rambut di selangkangan gadis itu, membuat Ningsih
tergelinjang karena perih tanpa berani menolak. Kini bibir kemaluan
Ningsih mulus kemerah-merahan seperti kemaluan seorang gadis yang
belum cukup umur, namun dengan payudara yang kencang.

Dengan sigap aku menindih tubuh montok menggiurkan yang telanjang
bulat tanpa sehelai benang pun itu. Tersipu-sipu Ningsih membuang
wajah dan menutupi payudaranya dengan telapak tangan. Namun segera
kutarik kedua tangan Ningsih ke atas kepalanya, lalu menyibakkan paha
gadis itu yang sudah mengangkang. Pasrah Ningsih memejamkan mata
menantikan saatnya mempersembahkan keperawanannya.

Gadis itu menahan nafas dan menggigit bibir saat jemariku
mempermainkan bibir kemaluannya yang basah terangsang. Perlahan kedua
paha mulus Ningsih terkangkang semakin lebar. Aku menyapukan ujung
kejantananku pada bibir kemaluan gadis itu, membuat nafasnya semakin
memburu. Perlahan tapi pasti, kejantananku menerobos masuk ke dalam
kehangatan tubuh perawan Ningsih. Ketika selaput dara gadis manis itu
sedikit menghalangi, dengan perkasa kudorong terus, sampai ujung
kejantananku menyodok dasar liang kemaluan Ningsih. Ternyata kemaluan
gadis ini kecil dan sangat dangkal. Kejantananku hanya dapat masuk
seluruhnya dalam kehangatan keperawanannya bila didorong cukup kuat
sampai menekan dasar kemaluannya. Itu pun segera terdesak keluar lagi.

Ningsih terpekik sambil tergeliat merasakan pedih menyengat di
selangkangannya saat kurenggutkan keperawanan yang selama ini telah
dijaganya baik-baik. Tapi gadis itu hanya berani meremas-remas bantal
di kepalanya sambil menggigit bibir menahan sakit. Air mata gadis itu
tak terasa menitik dari sudut mata, mengaburkan pandangannya. Ningsih
merintih kesakitan ketika aku mulai bergerak menikmati kehangatan
kemaluannya yang serasa 'megap-megap' dijejali benda sebesar itu.
Namun rasa sakit dan pedih di selangkangannya perlahan tertutup oleh
sensasi geli-geli nikmat yang luar biasa.
Tiap kali kejantananku menekan dasar kemaluannya, gadis itu
tergelinjang oleh ngilu bercampur nikmat yang belum pernah
dirasakannya. Kejantananku bagai diremas-remas dalam liang kemaluan
Ningsih yang begitu 'peret' dan legit. Dengan perkasa kudorong
kejantananku sampai masuk seluruhnya dalam selangkangan gadis itu,
membuat Ningsih tergelinjang-gelinjang sambil merintih nikmat tiap
kali dasar kemaluannya disodok.

"Ahh... Ndoro..! Aa... ah..! Aaa... ahk..! Oooh..! Ndorooo... Ningsih
pengen... pih... pipiiis..! Aaa... aahh..!"
Sensasi nikmat luar biasa membuat Ningsih dengan cepat terorgasme.
"Tahan Nduk! Kamu nggak boleh pipis dulu..! Tunggu Ndoro pipisin
kamu, baru kamu boleh pipis..!"
Dengan patuh Ningsih mengencangkan otot selangkangannya sekuat tenaga
berusaha menahan pipis, kepalanya menggeleng-geleng dengan mata
terpejam, membuat rambutnya berantakan, namun beberapa saat
kemudian...
"Nggak tahan Ndorooo..! Ngh...! Ngh...! Ngggh! Aaaiii... iik..!
Aaa... aaahk..!" Tanpa dapat ditahan-tahan, Ningsih tergelinjang-
gelinjang di bawah tindihanku sambil memekik dengan nafas tersengal-
sengal.
Payudaranya yang bulat dan kenyal berguncang menekan dadaku saat
gadis itu memeluk erat tubuh majikannya, dan kemaluannya yang begitu
rapat bergerak mencucup-cucup.

Berpura-pura marah, aku menghentikan genjotannya dan menarik
kejantananku keluar dari tubuh Ningsih.
"Dibilang jangan pipis dulu kok bandel..! Awas kalau berani pipis
lagi..!"
Tampak kejantananku bersimbah cairan bening bercampur kemerahan,
tanda gadis itu betul-betul masih perawan. Gadis itu mengira
majikannya sudah selesai, memejamkan mata sambil tersenyum puas dan
mengatur nafasnya yang 'senen-kamis'. Di pangkal paha gadis itu
tampak juga darah perawan menitik dari bibir kemaluannya yang
perlahan menutup.

Aku menarik pinggang Ningsih ke atas, lalu mendorong sebuah bantal
empuk ke bawah pantat Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu agak
melengkung karena pantatnya diganjal bantal. Tanpa basa-basi kembali
kutindih tubuh montok Ningsih, dan kembali kutancapkan kejantananku
dalam liang kemaluan gadis itu. Dengan posisi pantat terganjal,
klentit Ningsih yang peka menjadi sedikit mendongak. Sehingga ketika
aku kembali melanjutkan tusukanku, gadis itu tergelinjang dan
terpekik merasakan sensasi yang bahkan lebih nikmat lagi dari yang
barusan.

"Mau terus apa brenti, Nduk..?" godaku.
"Aii... iih..! He.. eh..! Terus Ndorooo..! Enak..! Enak..! Aahh...
Aiii... iik..!"
Tubuh Ningsih yang montok menggiurkan tergelinjang-gelinjang dengan
nikmat dengan nafas tersengal-sengal diantara pekikan-pekikan
manjanya.
"Ooo... ohh..! Ndoroo.., Ningsih pengen pipis.. lagiii... iih..!"
"Yang ini ditahan dulu..! Tahan Nduk..!"
"Aa.. aak..! Ampuuu... unnhh..! Ningsih nggak kuat... Ndorooo..!"
Seiring pekikan manjanya, tubuh gadis itu tergeliat-geliat di atas
ranjang empuk.

Pekikan manja Ningsih semakin keras setiap kali tubuh telanjangnya
tergerinjal saat kusodok dasar liang kegadisannya, membuat kedua
pahanya tersentak mengangkang semakin lebar, semakin mempermudah aku
menikmati tubuh perawannya. Dengan gemas sekuat tenaga kuremas-remas
kedua payudara Ningsih hingga tampak berbekas kemerah-merahan. Begitu
kuatnya remasanku hingga cairan putih susu menitik keluar dari
putingnya yang kecoklatan.
"Ahhhk..! Aaa.. aah! Aduu.. uhh! Sakit Ndorooo..! Ningsih mau
pipiiiiss..!"

Dengan maksud menggoda gadis itu, aku menghentikan sodokannya dan
mencabut kejantanannya justru disaat Ningsih mulai orgasme.
"Mau pipis Nduk..?" tanyaku pura-pura kesal.
"Oohh... Ndorooo... terusin dong..! Cuma 'dikit, nggak pa-pa kok..!"
rengek gadis itu manja.
"Kamu itu nggak boleh pipis sebelum Ndoro pipisin kamu, tahu..?" aku
terus berpura-pura marah.
Tampak bibir kemaluan Ningsih yang gundul kini kemerah-merahan dan
bergerak berdenyut.
"Enggak! Enggak kok! Ningsih enggak berani Ndoro..!"

Ningsih memeluk dan berusaha menarik tubuhku agar kembali menindih
tubuhnya. Rasanya sebentarlagi gadis itu mau pipis untuk ketiga
kalinya.
"Kalau sampai pipis lagi, Ndoro bakal marah, lho Nduk..?" kuremas
kedua buah dada montok Ningsih.
"Engh... Enggak. Nggak berani." Wajah gadis itu berkerut menahan
pipis.
"Awas kalau berani..!" kukeraskan cengkeraman tangannya hingga
payudara gadis itu seperti balon melotot dan cairan putih susu
kembali menetes dari putingnya.

"Ahk! Aah..! Nggak berani, Ndoro..!"
Ningsih menggigit bibir menahan sakitnya remasan-remasanku yang
bukannya dilepas malah semakin kuat dan cepat. Namun gadis itu segera
merasakan ganjarannya saat kejantananku kembali menghajar
kemaluannya. Tak ayal lagi, Ningsih kembali tergiur tanpa ampun
begitu dasar liang kemaluannya ditekan kuat.
"Ngh..! Ngh..! Nggghhh..! Ahk... Aaa... aahhh..! Ndorooo... ampuuu...
uun..!"
Tubuh montok gadis itu tergerinjal seiring pekikan manjanya.

Begitu cepatnya Ningsih mencapai puncak membuat aku semakin gemas
menggeluti tubuh perawannya. Tanpa ampun kucengkeram kedua bukit
montok yang berdiri menantang di hadapanku dan meremasinya dengan
kuat, meninggalkan bekas kemerahan di kulit payudara Ningsih.
Sementara genjotan demi genjotan kejantananku menyodok kemaluan gadis
itu yang hangat mencucup-cucup menggiurkan, bagai memohon semburan
puncak.

Gadis itu sendiri sudah tak tahu lagi mana atas mana bawah,
kenikmatan luar biasa tidak henti-hentinya memancar dari
selangkangannya. Rasanya seperti ingin pipis tapi nikmat luar biasa
membuat Ningsih tidak sadar memekik-mekik manja. Kedua pahanya yang
sehari-hari biasanya disilangkan rapat-rapat, kini terkangkang lebar,
sementara liang kemaluannya tanpa dapat ditahan-tahan berdenyut
mencucup kejantananku yang begitu perkasa menggagahinya. Sekujur
tubuh gadis itu basah bersimbah keringat.

"Hih! Rasain! Dibilang jangan pipis! Mau ngelawan ya..!" Gemas
kucengkeram kedua buah dada Ningsih erat-erat sambil menghentakkan
kejantananku sejauh mungkin dalam kemaluan dangkal gadis itu.
Ningsih tergelinjang-gelinjang tidak berdaya tiap kali dasar
kemaluannya disodok. Pantat gadis itu yang terganjal bantal empuk
berulangkali tersentak naik menahan nikmat.
"Oooh... Ndorooo..! Ahk..! Ampun..! Ampun Ndoroo..! Sudah..! Ampuuu..
unn..!" Ningsih merintih memohon ampun tidak sanggup lagi merasakan
kegiuran yang tidak kunjung reda.

Begitu lama majikannya menggagahinya, seolah tidak akan pernah
selesai. Tidak terasa air matanya kembali berlinang membasahi
pipinya. Kedua tangan gadis itu menggapai-gapai tanpa daya, paha
mulusnya tersentak terkangkang tiap kali kemaluannya dijejali
kejantananku, nafasnya tersengal dan terputus-putus. Bagian dalam
tubuhnya terasa ngilu disodok tanpa henti. Putus asa Ningsih merengek
memohon ampun, majikannya bagai tak kenal lelah terus menggagahi
kegadisannya. Bagi gadis itu seperti bertahun-tahun ia telah melayani
majikannya dengan pasrah.

Menyadari kini Ningsih sedang terorgasme berkepanjangan, aku tarik
paha Ningsih ke atas hingga menyentuh payudaranya dan merapatkannya.
Akibatnya kemaluan gadis itu menjadi semakin sempit menjepit
kejantananku yang terus menghentak keluar masuk. Ningsih berusaha
kembali mengangkang, namun dengan perkasa semakin kurapatkan kedua
paha mulusnya. Mata Ningsih yang bulat terbeliak dan berputar-putar,
sedangkan bibirnya merah merekah membentuk huruf 'O' tanpa ada suara
yang keluar. Sensasi antara pedih dan nikmat yang luar biasa di
selangkangannya kini semakin menjadi-jadi.

Aku semakin bersemangat menggenjotkan kejantananku dalam hangatnya
cengkeraman pangkal paha Ningsih, membuat gadis itu terpekik-pekik
nikmat dengan tubuh terdorong menyentak ke atas tiap kali kemaluannya
disodok keras.
"Hih! Rasain! Rasain! Nih! Nih! Nihh..!" aku semakin geram merasakan
kemaluan Ningsih yang begitu sempit dan dangkal seperti mencucup-
cucup kejantananku.
"Ahh..! Ampuuu...uun... ampun... Ndoro! Aduh... sakiit... ampuuu...
un..!"

Begitu merasakan kenikmatan mulai memuncak, dengan gemas kuremas
kedua payudara Ningsih yang kemerah-merahan berkilat bersimbah
keringat dan cairan putih dari putingnya, menumpukan seluruh berat
tubuhku pada tubuh gadis itu dengan kedua paha gadis itu terjepit di
antara tubuh kami, membuat tubuh Ningsih melesak dalam empuknya
ranjang.

Pekikan tertahan gadis itu, gelinjangan tubuhnya yang padat telanjang
dan 'peret'-nya kemaluannya yang masih perawan membuatku semakin
hebat menggeluti gadis itu.
"Aduh! Aduu... uuhh... sakit Ndoro! Aaah... aaamm... aaammpuuun...
ampuuu... uun Ndoro.. Ningsih... pipiiii... iiis! Aaammm... puuun..!"
Dan akhirnya kuhujamkan kejantananku sedalam-dalamnya memenuhi
kemaluan Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu terlonjak dalam
tindihanku, namun tertahan oleh cengkeraman tanganku pada kedua buah
dada Ningsih yang halus mulus.

Tanpa dapat kutahan, kusemburkan sperma dalam cucupan kemaluan
Ningsih yang hangat menggiurkan sambil dengan sekuat tenaga meremas-
remas kedua buah dada gadis itu, membuat Ningsih tergerinjal antara
sakit dan nikmat.
"Ahk! Auh..! Aaa... aauuhh! Oh... ampuuu...uun Ndoro! Terus Ndoro..!
Ampuuun! Amm... mmh..!Aaa... aaakh..!"

Dengan puas aku menjatuhkan tubuh di sisi tubuh Ningsih yang sintal,
membuat gadis itu turut terguling ke samping, namun kemudian gadis
itu memeluk tubuhku. Sambil terisak-isak bahagia, Ningsih memeluk
tubuhku dan mengelus-elus punggungku.

Sambil mengatur nafas, aku berpikir untuk menaikkan gaji Ningsih
beberapa kali lipat, agar gadis itu betah bekerja di sini, dan dapat
melayaniku setiap saat. Dengan tubuh yang masih gemetar dan lemas,
Ningsih perlahan turun dari ranjang dan mulai melompat-lompat di
samping ranjang.
Keheranan aku bertanya, "Ngapain kamu, Nduk..?"
"Katanya... biar nggak hamil harus lompat.. lompat, Ndoro.." jawab
gadis itu polos.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, melihat cairan kental
meleleh dari pangkal paha gadis itu yang mulus tanpa sehelai rambut
pun.

Cerita lainnya :